Beberapa tahun lalu ketika baru
masuk kerja, ada seorang nasabah yang langsung menghampiri meja saya tanpa
mengambil nomor antrian. Kebetulan tidak terlalu ramai, akhirnya saya
persilakan duduk.
Seorang Bapak seumuran ayah saya berpakaian
sopan sederhana, beliau duduk gelisah sambil tersenyum malu.
“Neng maaf Bapak mau pinjam uang
buat ongkos pulang. Bapak habis pencairan pinjaman tapi gak bawa buku tabungan
jadi gak bisa ambil uang terus gak punya atm,” ujarnya pelan dan ragu.
Benarkah? Jujur, sayaa kaget
karena ini pertama kalinya ada nasabah datang untuk pinjam uang pribadi saya.
Di antara sekian sifat buruk dan
keras kepala, ada satu hal terselip yang mungkin bisa dianggap satu-satunya
sifat ‘baik’ saya, yaitu gak tegaan. Saya telepon langsung ke bagian kredit dan
semua yang dikatakan Bapak tersebut dibenarkan pihak kredit.
“Neng maaf yah merepotkan..”
Saya hanya tersenyum, “memangnya
Bapak rumahnya dimana?”
“Jauh neng.. Jampang.”
Sekedar informasi, kota tempat
saya tinggal yaitu Sukabumi, memang memiliki daerah kabupaten yang luas dan
merupakan kabupaten terluas kedua di Pulau Jawa setelah Kabupaten Banyuwangi.
Beliau bercerita bahwa beliau ini
adalah seorang PNS guru Sekolah Dasar yang lokasi sekolah dan rumahnya ini
memang jauh dari kota bahkan harus beberapa kali naik kendaraan umum. Jarak
tempuhnya sekitar dua jam. Jadi beliau hari itu sengaja cuti untuk datang ke
kantor karena memang rekening gaji Bapak tersebut merupakan rekening cabang
kami.
“Mau pinjam ongkosnya berapa Pak?”
“Dua ratus ribu neng buat naik
ojeg soalnya jam segini udah gak ada angkot.”
Saya bingung. Hari itu uang
tinggal dua ratus ribu dan beberapa recehan. Gajian masih lama. Sebagai
karyawan baru dan lajang, saya memang belum punya tabungan untuk berjaga-jaga.
Makan pun masih nebeng orang tua.
Dua ratus ribu untuk ongkos
memang masuk akal mengingat jauhnya jarak ke rumahnya untuk memakai ojeg. Atau
mungkin beliau memang butuh dua ratus ribu terlepas dari ongkos atau bukan. Dua
ratus ribu, nominal yang mungkin tidak begitu banyak bagi orang lain tapi bagi
saya yang uangnya tinggal segitu-gitunya dan bagi si Bapak yang butuh ongkos
untuk pulang, sungguh sangat berarti.
Saya ijin ke belakang ambil
dompet. Andai boleh mengeluh, mungkin langkah menuju loker siang itu cukup
berat mengingat kegalauan yang dihadapi. Mau saya kasih semua gimana, gak saya
kasih juga gimana. Saya menebak-nebak sambil menatap uang di tangan, kira-kira
di antara lima orang customer service yang
beliau lihat di depannya, kenapa harus saya yang dipilih untuk dipinjami uang?
Sejenak saya teringat salah satu ayat
Al Quran, “Dan kunci-kunci semua yang
gaib ada pada-Nya, tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa
yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur tidak
diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula
sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata
(Lauh Mahfuzh).” (Al An’am : 59)
Di antara lima orang customer service yang berjejer di
hadapan beliau, saya yang dipilih. Mungkin wajah ini dikira tidak begitu
terlihat galak, mungkin senyum saya dianggap bisa berempati dan pasti Allah lah
yang menggerakkan kakinya ke meja saya. Untuk
menguji.
Akhirnya kami duduk kembali
berhadapan. Saya cerita di dompet hanya ada dua ratus ribu tersisa. Yang mana
saya pun butuh ongkos buat kerja. Saya bilang bahwa saya pasti kasih semua yang
Bapak minta kalau punya uang lebih. Jadi solusinya adalah bagi dua.
“Cukup gak Pak kalau seratus?”
“Iya neng gak apa-apa. Insya
Allah cukup. Dua hari lagi kalau tidak ada halangan, saya bayar kesini.”
Kami berpisah tanpa bertukar
nomor kontak yang bisa dihubungi. Beliau tidak punya handphone dan tidak hapal
nomor siapapun. Data pribadinya di berkas kami hanyalah nomor telepon sekolah.
Saya tidak peduli karena memang tidak berniat menagih.
Seminggu berlalu, beliau tidak
datang ke kantor. Sampai hari itu, tiba-tiba berdiri di meja saya bawa uang dua
ratus ribu untuk ganti yang seratus ribu. Saya tolak, saya bilang ikhlas kasih
uang tersebut. Beliau memaksa, paling tidak ambil yang seratus ribu karena
sudah janji bayar hutang katanya.
Di sanalah ia, duduk dan mulai
berkisah tentang hari itu pulang ke rumah hanya bawa uang seratus ribu hasil
pinjam yang nominalnya sudah berkurang untuk ongkos. Istrinya bersyukur, yang
penting bisa pulang. Dan sekarang seluruh keluarganya tahu saya.
“Pak, nanti kalau mau transaksi
ke bank Bapak gak perlu jauh-jauh kesini. Bisa dibantu di cabang pembantu
terdekat kalau bukan pencairan kredit.”
“Gak apa-apa neng, sekalian
jalan-jalan aja kalau kesini. Sudah nyaman.”
Dan begitulah awal mulanya perkenalan kami.
Bulan-bulan berikutnya saya akan
dikabari teman-teman teller kalau ada
nasabah yang setiap transaksi pasti menyelipkan nama saya dalam obrolannya.
“Bu Dea ada?”
“Waktu itu saya ditolongin Bu Dea”
“Disini karyawannya baik ya, Bu
Dea juga nolong saya waktu itu” dan seterusnya.
Tidak pernah saya mengharapkan
beliau bercerita pada keluarganya maupun teman kantor saya. Kami cuma sama-sama
digerakkan hati dan langkah oleh Allah. Orang lain mungkin menganggap kejadian
hari itu biasa saja. Pertolongan saya pun bukan apa-apa karena saya hanya bisa
meminjamkan sebagian. Tapi kita tak pernah tahu apa yang orang lain anggap
sebagai kebaikan. Boleh jadi yang kita kira biasa saja adalah hal berharga bagi
orang lain.
Mungkin itu salah satu alasan
kenapa Allah memerintahkan kita berlomba dalam kebaikan. Kebaikan berbagi. Dan sesuai janji-Nya, “Maka barang siapa mengerjakan kebaikan
sebesar zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Az-Zalzalah : 7)
Sekarang saya sudah resign dan katanya
beliau sesekali masih menanyakan kabar saya.
Itu sudah lebih dari cukup.
"Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Menebar Kebaikan yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa"