Tuesday, April 28, 2020

Menebar Kebaikan


Beberapa tahun lalu ketika baru masuk kerja, ada seorang nasabah yang langsung menghampiri meja saya tanpa mengambil nomor antrian. Kebetulan tidak terlalu ramai, akhirnya saya persilakan duduk.
Seorang Bapak seumuran ayah saya berpakaian sopan sederhana, beliau duduk gelisah sambil tersenyum malu.

“Neng maaf Bapak mau pinjam uang buat ongkos pulang. Bapak habis pencairan pinjaman tapi gak bawa buku tabungan jadi gak bisa ambil uang terus gak punya atm,” ujarnya pelan dan ragu.
Benarkah? Jujur, sayaa kaget karena ini pertama kalinya ada nasabah datang untuk pinjam uang pribadi saya.
Di antara sekian sifat buruk dan keras kepala, ada satu hal terselip yang mungkin bisa dianggap satu-satunya sifat ‘baik’ saya, yaitu gak tegaan. Saya telepon langsung ke bagian kredit dan semua yang dikatakan Bapak tersebut dibenarkan pihak kredit.

“Neng maaf yah merepotkan..”

Saya hanya tersenyum, “memangnya Bapak rumahnya dimana?”

“Jauh neng.. Jampang.”

Sekedar informasi, kota tempat saya tinggal yaitu Sukabumi, memang memiliki daerah kabupaten yang luas dan merupakan kabupaten terluas kedua di Pulau Jawa setelah Kabupaten Banyuwangi.

Beliau bercerita bahwa beliau ini adalah seorang PNS guru Sekolah Dasar yang lokasi sekolah dan rumahnya ini memang jauh dari kota bahkan harus beberapa kali naik kendaraan umum. Jarak tempuhnya sekitar dua jam. Jadi beliau hari itu sengaja cuti untuk datang ke kantor karena memang rekening gaji Bapak tersebut merupakan rekening cabang kami.

 “Mau pinjam ongkosnya berapa Pak?”

“Dua ratus ribu neng buat naik ojeg soalnya jam segini udah gak ada angkot.”

Saya bingung. Hari itu uang tinggal dua ratus ribu dan beberapa recehan. Gajian masih lama. Sebagai karyawan baru dan lajang, saya memang belum punya tabungan untuk berjaga-jaga. Makan pun masih nebeng orang tua.

Dua ratus ribu untuk ongkos memang masuk akal mengingat jauhnya jarak ke rumahnya untuk memakai ojeg. Atau mungkin beliau memang butuh dua ratus ribu terlepas dari ongkos atau bukan. Dua ratus ribu, nominal yang mungkin tidak begitu banyak bagi orang lain tapi bagi saya yang uangnya tinggal segitu-gitunya dan bagi si Bapak yang butuh ongkos untuk pulang, sungguh sangat berarti.

Saya ijin ke belakang ambil dompet. Andai boleh mengeluh, mungkin langkah menuju loker siang itu cukup berat mengingat kegalauan yang dihadapi. Mau saya kasih semua gimana, gak saya kasih juga gimana. Saya menebak-nebak sambil menatap uang di tangan, kira-kira di antara lima orang customer service yang beliau lihat di depannya, kenapa harus saya yang dipilih untuk dipinjami uang?

Sejenak saya teringat salah satu ayat Al Quran, “Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya, tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Al An’am : 59)

Di antara lima orang customer service yang berjejer di hadapan beliau, saya yang dipilih. Mungkin wajah ini dikira tidak begitu terlihat galak, mungkin senyum saya dianggap bisa berempati dan pasti Allah lah yang menggerakkan kakinya ke meja saya.  Untuk menguji.

Akhirnya kami duduk kembali berhadapan. Saya cerita di dompet hanya ada dua ratus ribu tersisa. Yang mana saya pun butuh ongkos buat kerja. Saya bilang bahwa saya pasti kasih semua yang Bapak minta kalau punya uang lebih. Jadi solusinya adalah bagi dua.

“Cukup gak Pak kalau seratus?”

“Iya neng gak apa-apa. Insya Allah cukup. Dua hari lagi kalau tidak ada halangan, saya bayar kesini.”

Kami berpisah tanpa bertukar nomor kontak yang bisa dihubungi. Beliau tidak punya handphone dan tidak hapal nomor siapapun. Data pribadinya di berkas kami hanyalah nomor telepon sekolah. Saya tidak peduli karena memang tidak berniat menagih.

Seminggu berlalu, beliau tidak datang ke kantor. Sampai hari itu, tiba-tiba berdiri di meja saya bawa uang dua ratus ribu untuk ganti yang seratus ribu. Saya tolak, saya bilang ikhlas kasih uang tersebut. Beliau memaksa, paling tidak ambil yang seratus ribu karena sudah janji bayar hutang katanya.

Di sanalah ia, duduk dan mulai berkisah tentang hari itu pulang ke rumah hanya bawa uang seratus ribu hasil pinjam yang nominalnya sudah berkurang untuk ongkos. Istrinya bersyukur, yang penting bisa pulang. Dan sekarang seluruh keluarganya tahu saya.

“Pak, nanti kalau mau transaksi ke bank Bapak gak perlu jauh-jauh kesini. Bisa dibantu di cabang pembantu terdekat kalau bukan pencairan kredit.”

“Gak apa-apa neng, sekalian jalan-jalan aja kalau kesini. Sudah nyaman.”  

Dan begitulah awal mulanya perkenalan kami.

Bulan-bulan berikutnya saya akan dikabari teman-teman teller kalau ada nasabah yang setiap transaksi pasti menyelipkan nama saya dalam obrolannya.

“Bu Dea ada?”

 “Waktu itu saya ditolongin Bu Dea”

“Disini karyawannya baik ya, Bu Dea juga nolong saya waktu itu” dan seterusnya.

Tidak pernah saya mengharapkan beliau bercerita pada keluarganya maupun teman kantor saya. Kami cuma sama-sama digerakkan hati dan langkah oleh Allah. Orang lain mungkin menganggap kejadian hari itu biasa saja. Pertolongan saya pun bukan apa-apa karena saya hanya bisa meminjamkan sebagian. Tapi kita tak pernah tahu apa yang orang lain anggap sebagai kebaikan. Boleh jadi yang kita kira biasa saja adalah hal berharga bagi orang lain.

Mungkin itu salah satu alasan kenapa Allah memerintahkan kita berlomba dalam kebaikan. Kebaikan berbagi. Dan sesuai janji-Nya, “Maka barang siapa mengerjakan kebaikan sebesar zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Az-Zalzalah : 7)  
Sekarang saya sudah resign dan katanya beliau sesekali masih menanyakan kabar saya.
Itu sudah lebih dari cukup.

"Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Menebar Kebaikan yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa"



Thursday, September 19, 2013

Letter to Dewi Lestari

Saya nunggu, udah lama.
Akhirnya kita ketemu untuk pertama kali.

Saya kira ketemu idola itu bakalan bikin seneng.
Bukan ternyata. Bahagia bangeeeet.
Tapi kalau bahagia banget, harusnya gak gini rasanya.

Saya duduk bareng orang-orang yang juga nunggu seorang Dewi Lestari.
Idola, panutan, Ibu Suri dan segala macam sebutan yang pantas untuk sosok inspirator bagi kami.
Kepala saya mendadak sakit, pusing, sesak napas dan rasanya akan pingsan.

Dari Cibiru datang sendirian ke Sukajadi demi Dewi Lestari. Jauh jauh naik angkot bari nyasar ga hapal jalan, demi Ibu Suri.

Mendadak AC di Gramedia PVJ ini dinginnya membabi buta. Bikin kuku-kuku saya jadi biru. Tangan gemetaran sambil nunggu antrian.
Waktu hadep-hadepan, mbak Dee nanya nama. Berapa detik saya bengong dan akhirnya bisa ngomong.
Bahkan ujung-ujungnya meluk! That's one of the best moments in my life.

Mbak Dee, mungkin begini rasanya kalau Zarah ketemu ayahnya.

Oh iya, nama saya Deasty Larasati. Agak-agak mirip Dewi Lestari kan yah???
Jangan-jangan harus bikin tokoh supernova yang baru. Setelah Alfa, ada saya. Hehe.
Bohong kok, becanda.


PS : eh halooo ini saya ngetik di tahun 2016. supernova sudah punya tokoh baru yg banyak. Ibu Suri tetep jago bikin saya kesengsem dengan imajinasinya. :)